Selasa, 06 September 2011

Hak-Hak Para Istri

Islam adalah agama yang sangat memuliakan wanita. Demikian pula ketika seorang wanita berstatus sebagai istri, ia memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suaminya.

Sahabat Muawiyah bin Haidah bin Mu’awiyah bin Ka’ab al-Qusyairy -rodhiyallohu ‘anhu-, pernah bertanya kepada Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, “Ya Rasulullah, apa hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya?” Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajahnya, dan janganlah engkau menjelek-jelekannya, dan janganlah engkau tinggalkan dia melainkan di dalam rumah (jangan berpisah tempat tidur melainkan di dalam rumah).” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah)

HAK ISTRI, KEWAJIBAN SUAMI

Berdasarkan hadits tersebut, berikut ini hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suami:

1. Memberinya makan dan pakaian

Dalam Islam, memberi nafkah kepada istri dan anak termasuk ibadah. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda kepadanya, “Engkau tiada memberi belanja demi mencari ridha Allah, melainkan pasti diberi pahala, sekalipun yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu.” (Riwayat Bukhari Muslim)

Istri berhak untuk mendapatkan belanja sewajarnya, tergantung seberapa besar kemampuan suami. Contohnya soal pangan dan pakaian. Kalau suami punya jatah makanan daging misalnya, maka istri berhak pula untuk mendapatkan makanan sekualitas itu. Sebaliknya, bila sang suami cuma mampu membeli nasi dan ikan asin, istri pun tak boleh menuntut untuk bisa makan ayam.

Lalu bagaimana dengan istri yang bekerja dan dari pekerjaannya itu ia bisa menopang biaya hidupnya? Apakah suami tetap berkewajiban memberi nafkah?

Istri meminta atau tidak, memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab seorang suami. Ia wajib untuk tetap bekerja sekuat tenaga, walau dengan hasil minim, demi memenuhi tugas berat ini. Bila istri berpenghasilan atau memiliki harta, maka bukan lantas milik bersama, tetapi tetap jadi haknya pribadi. Mengenai kerelaan istri untuk memberikan hartanya kepada suami, itu masalah lain, dan dinilai sebagai sedekah.

2. Tidak memukul wajahnya

Berkenaan dengan pemukulan terhadap istri, yaitu ketika istri melakukan ketidakpatuhan, suami boleh memukul pada bagian badan istri, namun bukan pada wajah. Ini merupakan hak istri yang harus ia terima manakala melakukan kesalahan. Namun, hal demikian harus dilakukan setelah upaya menghindar atau pisah ranjang tidak berhasil (untuk memperbaiki kelakuannya).

3. Tidak menjelek-jelekkannya

Istri tidak berhak mendapatkan penghinaan dari suami. Misalnya dengan melontarkan kata-kata yang tidak disukainya, seperti “Dasar wanita jelek!”, atau dengan kata “Semoga Allah menjelekkan kamu!”

4. Tidak meninggalkannya melainkan di dalam rumah

Maksudnya, jangan berpisah tempat tidur atau pisah ranjang ketika terjadi konflik, melainkan di dalam rumah.

5. Mengajarkan Ilmu Agama

Di samping hak-hak di atas, seorang suami juga wajib mengajarkan ajaran Islam kepada istrinya. Allah -ta’ala- berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (at-Tahrim: 6)

Jadi, suami harus membekali dirinya dengan menuntut ilmu syar’i (thalabul ‘ilmi) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al Quran dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush shalih, generasi terbaik yang mendapat jaminan dari Allah. Dengan bekal tersebut, seorang suami diharapkan mampu mengajarkannya kepada istri, anak dan keluarganya. Jika ia tidak sanggup mengajari mereka, ia harus mengajak istrinya menuntut ilmu syar’i dan menghadiri majelis-majelis taklim yang mengajarkan tentang akidah, tauhid, akhlak, serta tata cara bersuci, berwudhu, shalat, dan lainnya.

HAK-HAK ISTRI DALAM POLIGAMI

Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya. Yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Apa saja hak seorang istri di dalam poligami? Di antaranya sebagai berikut:

1. Memiliki rumah sendiri

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah -ta’ala- berfirman, “Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian.” (al-Ahzab: 33)

Dalam ayat tersebut, Allah -ta’ala- menyebutkan rumah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- menceritakan bahwa ketika Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sakit menjelang wafatnya, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bertanya, “Di mana Aku besok? Di rumah siapa?” Beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menginginkan di tempat Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-, oleh karena itu istri-istri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat di mana saja beliau menginginkannya. Maka beliau dirawat di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisi Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-.

Ibnu Qudamah -rohimahulloh- menjelaskan dalam kitab al-Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri dimungkinkan untuk mendengar atau bahkan melihatnya saat suami bermesra-mesraan dengan istrinya yang lain. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mengapa.

2. Menyamakan para istri dalam masalah giliran

Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan, Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru berhenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran saat itu.

3. Tidak boleh keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain

Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- di rumah Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril p. Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- akan pergi ke rumah istri yang lain. Ketika Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- pulang dan mendapatkan Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- dalam keadaan terengah-engah, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-, “Apakah engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”

Ibnu Qudamah -rohimahulloh- menyatakan, tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.

4. Batasan malam pertama setelah pernikahan

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas -rodhiyallohu ‘anhu-, termasuk sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir istri-istri yang lain.

5. Wajib adil dalam nafkah

Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami. Namun keadilan dalam hal nafkah tentu sangat relatif. Misalnya jika istri pertama telah memiliki lima orang anak, sedangkan istri kedua baru punya satu anak, tentu istri pertama berhak mendapatkan nafkah lebih banyak untuk menghidupinya dan anak-anaknya.

6. Mengundi istri ketika safar

Bila seorang suami hendak melakukan safar dan tidak membawa semua istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan menyertainya dalam safar tersebut, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Ibnu Qudamah -rohimahulloh- menyatakan bahwa seorang yang safar dan membawa semua istrinya atau meninggalkan semua istrinya, maka tidak memerlukan undian. Jika suami membawa lebih dari satu istrinya, ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan di antara mereka ketika tidak dalam keadaan safar.

7. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di antara para istri

Seorang suami tidak dibebani kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ di antara para istrinya. Yang wajib bagi dia adalah memberikan giliran (bermalam) kepada istri-istrinya secara adil.

Ayat “Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian,”ditafsirkan oleh Ibnu Katsir -rohimahulloh- manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’.

Menurut Ibnu Qudamah -rohimahulloh-, bila dimungkinkan untuk menyamakan dalam masalah jima’, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih mendekati sikap adil. Wallaahu a’lam.

Artikel Majalah Nikah Sakinah, Vol. 10 No. 1, Rubrik Lentera

1 Kesulitan, 2 Kemudahan

Selama hidup di dunia, seorang manusia terus saja mendapati kesusahan dan kesulitan. Semenjak dilahirkan, di masa kecil, remaja dewasa, bahkan sampai kematian pun berbagai kesulitan senantiasa mengiringi. Ini adalah ketetapan Allah bagi manusia, selama mereka belum kembali ke dalam surga yang penuh kenikmatan. Allah ta’ala berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (al-Balad: 4)

Dan ini adalah suatu kewajaran, karena Allah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan bagi umat manusia. Tidak dinamakan cobaan jika tidak ada kesulitan sama sekali di sana. Oleh karenanya, bukanlah suatu keinginan realistis ketika seseorang ingin menghindari semua kesulitan. Akan tetapi seorang yang cerdas lagi mengetahui hakikat akan berusaha mencari tahu bagaimana sikap yang harus ditempuh dalam menghadapi berbagai kesulitan.

Hikmah dibalik kesulitan

Sudah dimaklumi bahwa Allah menciptakan kita di dunia ini dengan tujuan agar kita beribadah hanya kepada Allah. Kita menghamba, tunduk, patuh, menghinakan diri dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala. Inilah tujuan utama, dan inilah tujuan yang paling mulia. Maka, ketika Allah mentakdirkan berbagai ketetapan-Nya bagi manusia, tidak lain karena Allah menginginkan agar manusia kembali kepada-Nya untuk merealisasikan tujuan hidupnya di dunia ini.

Tidaklah Allah menimpakan suatu musibah kepada manusia, kecuali bertujuan agar dia kembali kepada-Nya. Sehingga, sebaik-baik perkataan yang diucapkan oleh orang yang tertimpa musibah adalah perkataan,
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali hanya kepada-Nya.”

Kalimat ini mengandung makna bahwa kita semua adalah makhluk yang dikuasai, dimiliki dan dibawah pengaturan Allah ta’ala. Sedangkan kita semua akan kembali kepada-Nya di akhirat kelak. Sehingga ketika Allah berkehendak menimpakan musibah kepada kita, maka itu adalah hak-Nya, dan kita tidak berhak memprotes. Kita berkewajiban untuk bersabar menghadapi musibah itu, karena sabar terhadapnya adalah diperintahkan oleh-Nya.

Tentang makna kalimat tersebut, Fudhail bin ‘Iyadh v, mengatakan, “Barangsiapa mengetahui (meyakini) bahwa dirinya akan kembali kepada Allah, hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dihadapkan di hadapan Allah. Barangsiapa mengetahui dirinya akan dihadapkan di hadapan Allah, hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan ditanya di hadapan Allah. Barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya di hadapan Allah, hendaknya dia mempersiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan.”

Sehingga berbagai kesulitan dan musibah yang menimpa hamba, sesungguhnya adalah pengingat bagi hamba akan kerendahan dan kelemahan dirinya dihadapan Allah. Pengingat bahwa dia akan kembali kepada Allah ta’ala. Yang dengan itu diharapkan dia akan kembali menghamba kepada Allah, mempersiapkan diri menyambut akhirat dengan ketakwaan.

Ada Kemudahan bersama Kesulitan

Dari paparan tersebut, kita mengetahui ternyata Allah menimpakan musibah dan menakdirkan kesulitan bukan untuk menyulitkan hamba-Nya, apalagi menzhaliminya. Maha suci Allah dari hal demikian. Akan tetapi, musibah dan kesulitan itu adalah ujian yang manfaatnya akan kembali kepada hamba, yang kebanyakan adalah sebagai akibat dari ulah hamba itu sendiri.

Dan jika kita benar-benar memperhatikan musibah dan kesulitan yang Allah takdirkan, niscaya kita akan mendapati bahwa bersama setiap kesulitan itu pasti ada kemudahan yang mengiringinya. Ini adalah kenyataan, dan ini adalah janji Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (*) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (asy-Syarh: 5-6)

Syekh Abdurrahman as-Sa’di v menjelaskan, ayat ini merupakan kabar gembira bahwa setiap kesusahan dan kesulitan pasti diiringi oleh kemudahan. Sehingga seandainya kesulitan itu masuk ke dalam liang binatang Dhab, niscaya kemudahan juga akan ikut masuk dan mengeluarkannya.

Beliau juga menjelaskan, bahwa sebuah kesulitan akan diiringi oleh dua kemudahan. Maka satu kesulitan tidak akan bisa mengalahkan dua kemudahan. Dan kesulitan yang dimaksud adalah umum, mencakup segala bentuk kesulitan. Seberapa besar pun tingkat kesulitan pasti diakhiri dengan kemudahan. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Pada ayat tadi, Allah menegaskan dengan perkataan-Nya, “bersama kesulitan” yang hal ini menunjukkan akan dekatnya kemudahan itu setelah datangnya kesulitan. Demikian juga sabda Nabi shollallohu’alaihi wa sallam,
وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Dan sesungguhnya kelapangan ada bersama dengan kesempitan, dan bersama kesulitan pasti ada kemudahan.” (Riwayat Ahmad)

Allah ta’ala berfirman,
حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلا إنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.’” (al-Baqarah: 214)

Dan perlu kita pahami bahwa kemudahan ini terkadang berupa kesuksesan yang Allah berikan kepada hamba-Nya dalam menghadapi kesulitan ini, dan terkadang berupa kelapangan dada untuk sabar dan ridha menerima takdir dan kehendak Allah ini. Sehingga janganlah kita sampai berprasangka buruk kepada Allah ta’ala ketika mendapati suatu kesulitan dan musibah.

Bagaimana meraih kemudahan?

Janji yang Allah berikan kepada hamba-Nya bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan, bukan berarti kita boleh berpangku tangan menunggu tanpa usaha meraih kemudahan dari Allah ta’ala. Bahkan Allah ta’ala telah menjelaskan jalan-jalan untuk menggapai kemudahan dan pertolongan dari Allah ta’ala. Karena Allah telah menjadikan segala sesuatu dengan sebabnya. Berikut ini beberapa usaha yang seyogyanya kita lakukan dalam rangka meraih kemudahan dari Allah ta’ala:

- Bertakwa kepada Allah ta’ala.
Berdasarkan firman Allah ta’ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (ath-Thalaq: 2)

- Bertawakal hanya kepada Allah.
Karena Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (ath-Thalaq: 3)

- Bersabar dan menguatkan kesabaran.
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali ‘Imran: 200)

- Ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-Ankabut: 69)

- Meluruskan dan menguatkan keimanan.
Allah ta’ala berfirman,
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (ar-Rum: 47)

- Mengenal Allah dalam keadaan lapang.
Rasulullah shollallohu’alaihi wa sallam bersabda,
تَعرَّفْ إلى اللهِ في الرَّخاء يَعْرِفْك في الشِّدَّةِ
“Kenalilah Allah dalam keadaan lapang, niscaya Allah akan mengenalmu dalam keadaan sempit.” (Riwayat Ahmad)
Maksudnya, jika seorang hamba dalam keadaan lapangnya tetap bertakwa kepada Allah, menjaga batasan-batasan-Nya, dan memperhatikan hak-hak-Nya, berarti dia telah mengenal Allah dalam keadaan lapang. Dan dengan itulah Allah akan menyelamatkannya dari berbagai kesusahan dan kesulitan. Wallahu a’lam.

Artikel Rubrik Lentera Majalah Nikah Sakinah Vol 10 No 2